Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 Desember 2011

STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DARI PERKAWINAN CAMPURAN

Perkawinan Campur
Perkawinan campur. Perkawinan campur bisa di definisikan sebagai perkawinan beda dalam status kewarganegaraan, beda dalam budaya/suku, dan beda dalam agama. Dalam perkawinan campur ini, setiap pasangan bisa melaksanakannya secara sah oleh hukum, maupun ketentuan yang berlaku. Tetapi, bagaimana dengan kondisi status mengenai anak dari pasangan tersebut?
Description: http://fadilazexstrife.files.wordpress.com/2010/11/green-wedding-dresses-main_full2.jpg?w=300&h=195
Permasalahan yang pertama kita ambil adalah, perkawinan campur dalam status kewarganegaraan. Di sini tedapat pasangan pengantin, yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Contoh, status kewarganegaraan dari mempelai pria adalah warga negara asing (WNA), dan status kewarganegaraan dari mempelai wanita adalah Indonesia (WNI). Di mana, pernikahan tersebut bisa berjalan dengan sah sesuai hukum, adat, budaya, agama, atau dengan ketentuan yang berlaku. Tetapi, dengan satu syarat. Yaitu, yang mempunyai status WNA harus melaksanakan Naturalisasi. Ini sangat berpengaruh dalam menentukan status kewarganegaraan anaknya nanti. Membuktikan bahwa keturunan tersebut adalah keturunan dari pasangan WNI asli. Proses Naturalisasi di Indonesia sudah mempunyai ketentuan tersendiri yang berlaku. Jika yang berstatus WNA sudah menjalankan proses Naturalisasi, maka perkawinan campur tersebut dinyatakan sah.
Permasalahan yang kedua adalah, perkawinan campur dalam perbedaan budaya atau suku. Ini biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, terdapat pasangan pengantin yang memiliki perberbedaan budaya atau suku. Misalkan budaya atau suku dari mempelai pria adalah Jawa, dan budaya atau suku dari mempelai wanita adalah Sunda. Perkawinan ini bisa di lakukan secara sah, dengan mengikuti ketentuan adat istiadat tertentu bila diharuskan. Dan mengenai status anak dalam perkawinan ini, tentu saja WNI, dan budaya atau suku yang akan dia anut, bisa diambil bedasarkan tempat atau daerah di mana dia lahir, atau mengikuti keturunan budaya atau suku dari sang ayah atau ibunya.
Permasalahan yang ketiga adalah, perkawinan campur dalam perbedaan agama atau kepercayaan logis. Ini biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, terdapat pasangan pengantin yang memiliki perberbedaan agama. Misalkan agama dari mempelai pria adalah Islam, dan agama dari mempelai wanita adalah Kristen. Perkawinan ini bisa di lakukan secara sah, dengan mengikuti ketentuan agama atau ketentuan tertentu bila diharuskan. Bisa juga salah satu dari mereka harus pindah agama, agar agama yang merka anut menjadi sama, dan proses jalannya pernikahan bisa lebih sah. Mengenai status anak dalam perkawinan ini, tentu saja WNI, dan agama yang akan dia anut, bisa diambil bedasarkan kepercayaan dirinya sendiri, atau mengikuti keturunan agama dari sang ayah atau ibunya.
Dan dalam 3 kategori tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa perkawinan campur dalam status kewarganegaraan, beda dalam budaya/suku, dan beda dalam agama, bisa melaksanakannya secara sah oleh hukum, maupun ketentuan yang berlaku. Dan mengenai status dari keturunan pasangan tersebut, bergantung dengan kondisi, dan ketentuan yang sudah di anjurkan.
Description: http://fadilazexstrife.files.wordpress.com/2010/11/2424256106_ae66d50358.jpg?w=300&h=199
STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN BERDASARKAN HUKUM INDONESIA
============================================================================
I. PENDAHULUAN
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
  2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?
II. ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
III. PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN

A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
B. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958

1. Permasalahan dalam perkawinan campuran

Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.
b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor. Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
2. Anak hasil perkawinan campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru

1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.
3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru
Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).
“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.
Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :
“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”
Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.
IV. KESIMPULAN

Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.



Dampak Positif Stratifikasi Sosial



Dampak positif Stratifikasi Sosial

Orang-orang akan berusaha untuk berprestasi atau berusaha untuk maju karena adanya kesempatan untuk pindah strata. Kesempatan ini mendorong orang untuk mau bersaing, dan bekerja keras agar dapat naik ke strata atas.
Contoh: Seorang anak miskin berusaha belajar dengan giat agar mendapatkan kekayaan dimasa depan.
Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.
Contoh: Indonesia yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika didukung oleh sumber daya yang memiliki kualitas. Kondisi ini perlu didukung dengan peningkatan dalam bidang pendidikan.
Transportasi jika ditilik dari sisi sosial lebih merupakan proses afiliasi budaya dimana ketika seseorang melakukan transportasi dan berpindah menuju daerah lain maka orang tersebut akan menemui perbedaan budaya dalam bingkai kemajemukan Indonesia. Disamping itu sudut pandang sosial juga mendeskripsikan bahwa transportasi dan pola-pola transportasi yang terbentuk juga merupakan perwujudan dari sifat manusia. Contohnya, pola pergerakan transportasi penduduk akan terjadi secara massal dan masif ketika mendekati hari raya. Hal ini menunjukkan perwujudan sifat manusia yang memiliki tendesi untuk kembali ke kampung halaman setelah lama tinggal di perantauan.
Pada umumnya perkembangan sarana transportasi di Indonesia berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Kebanyakan dari Negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari pembangunan perekonomian. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi seperti halnya dermaga, pelabuhan, bandara, dan jalan rel dapat menimbulkan efek ekonomi berganda (multiplier effect) yang cukup besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi dan investasi dalam perekonomian lokal dan regional.
Kurang tanggapnya pemerintah dalam menanggapi prospek perkembangan ekonomi yang dapat diraih dari tansportasi merupakan hal yang seharusnya dihindari. Sistem transportasi dan logistik yang efisien merupakan hal penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga terhadap pertumbuhan kinerja perdagangan nasional dalam ekonomi global. Jaringan urat nadi perekonomian akan sangat tergantung pada sistem transportasi yang andal dan efisien, yang dapat memfasilitasi pergerakan barang dan penumpang di berbagai wilayah di Indonesia.
Seperti yang dijelaskan diatas seiring dengan berkembangnya sector industri dan teknologi transportasi terjadi perubahan juga dari “kebutuhan” menjadi “gaya hidup”. Seseorang enggan menggunakanangkutan kota dan lebih memilihberkendara sengan kendaraan pribadi karena lebih efisian.maksudnya dapat sampai ditempat tujuantanpa harus berganti kendaraan.Selain itu kendaraan pribadi memberi nilai lebih bagi pemiliknya. Mereka yang mempunyai kendaraan lebih bagus atau mewah dari pada yang lain maka akan berkedudukan diatas yang lainnya yang tidak mempunyai kendaraan yang lebih mewah. Mewah tidaknya kendraan dan banyaknya kendaraa pribadi yang dimiliki menempatkan pemiliknya pada status social yang lebih tinggi.


Minggu, 30 Oktober 2011

Peran Keluarga Dalam Perkembangan Kepribadian Anak


Peran Keluarga Dalam Perkembangan Kepribadian Anak

Apa peran keluarga dalam perkembangan kepribadian anak?
Keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk pribadi seorang anak. Keluargalah hal yang paling utama untuk membentuk suatu karakter anak. Selain keluarga,  lingkungan  pun berperan besar terhadap perkembangan kepribadian anak. lingkungan yang baik akan membawa dampak positif untuk karakter anak, begitu juga sebaliknya, lingkungan yang kurang baik, akan membawa dampak negatif bagi seorang anak. oleh karena itu, keluarga dan lingkungan menjadi peran utama dalam membentuk kepribadian anak. Lingkungan keluarga adalah sebuah basis awak bagi kehidupan manusia. keluarga selalu menyiapkan sarana pertumbuhan dan perkembangan untuk kepribadian anak sejak dini. Istilah kata, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan perlakuan orang tua terhadap didikan untuk anaknya serta lingkungan pun juga. Ayah dan Ibu merupakan suatu tiang untuk mengajarkan bagaimana suatu sikap yang harus dimiliki masing-masing anak untuk orang lain terhadap sekitar lingkungannya sendiri. Seorang ibu akan mengayaumi anaknya demi membentuk suatu karakter yang diterima masyarakat dalam arti memiliki sikap yang baik agar dapat diterima masyarakat umumnya. Keluarga yang bertanggung jawab adalah mau melindungi, mengajarkan dan menjadi penopang seorang anak dari berbagai masalah yang dimiliki setiap anak yang terjadi di masyarakat. Perilaku anak akan menjadi mata rantai interaksi anggota keluarga dan pada saat yang sama interaksi ini akan membentuk kepribadiannya secara bertahap dan memberikan arah serta menguatkan perilaku anak pada kondisi yang sama dalam lingkungannya. Peran kedua orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak. keyakinan, pemikiran, dan perilaku ayah ibu dengan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat dalam terhadap perilaku anak. ayah dan ibulah yang akan mengajarkan bagaimana kita sebagai makhluk tuhan untuk selalu mengerjakan segala perintahnya. Mereka mengajarkan akhlak, aqidah dalam agama yang mereka anut.
Dalam keluarga, agama juga menjadi tiang untuk menjadi sumber di setiap pengharapan, dalam bentuk memanjatkan doa. seorang anak pun harus mematuhi juga menghargai setiap perkataan juga peraturan yang di keluarkan oleh orang tuanya itu sendiri. sebab orang tua pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Adapun peran keluarga dalam mewujudkan kepribadian anak antarra lain :
1. Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anaknya, ketika seorang anak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya,maka saat kita berada di luar rumah dan menghadapi beberapa masalah, dia akan bisa menyelesaikan masalah itu dengan baik. Dan jika kedua orangtua terlalu mengekang atau terlalu memaksaka kehendak untuk ikut campur urusan mereka, maka hal ini akan menjadi penghalang kesempurnaan pribadi mereka.
2. Kedua orang tua harus mampu menjaga ketenangan lingkungan rumah dan keharmonisan rumah, jika seorang anak sedang ada masalah di luar, dan keadaan rumah baik, tentram, damai, maka masalah yang ia miliki akan terasa tidak sangat membebani pikiran mereka, tapi sebaliknya, jika kita sedang ada masalah di luar, dan suasana dirumah sedang tidak karuan, itulah yang membuat seorang anak tidak betah di rumah. Suasana rumah yang tentram, penuh kasih sayanglah mampu mengalahkan segala urusan yang terjadi diluar kita.
3. Saling menghormati antara kedua orang tua juga anak,  Ayah dan Ibu akan merasa bangga terhadap anaknya jika ia mampu menghormati juga menghargainya. mereka akan lebih sayang kepada kita dan kita pun akan sangat menyayangi mereka.
4. Mewujudkan kepercayaan, Orang tua akan percaya sepenuhnya kepada diri kita, jika kita tidak menyalagunakan kepercayaan itu. Rasa kepercayaan ini, akan membantu kita untuk mau menerima kekurangan dan kesalahan pada diri kita.
5. Mengadakan perkumpulan keluarga ( kedua orang tua dan anak ), dengan ini kita dapat berbagi tentang apa yang telah terjadi hari ini mengenai diri kita, saling bertukar pikiran, berbagi cerita. hal ini akak membantu seorang anak jika ia sedang memiliki masalah diluar. Pasti orang tua akan berpendapat dan mencarikan solusinya juga jalan keluar yang sedang dialami oleh diri seorang anak. dengan demikian, keluarga yang baik, harmonis akan menciptakan suatu lingkungan keluarga yang bahagia sejahtera. Semua masalah akan dihadapi dengan tenang sebab kita memiliki keluarga yang dapat membantu apapun masalah yang sedang kita hadapi.
Keluarga yang baik akan membentuk suatu pribadi anak yang baik pula. Keluarga merupakan akar dari segala solusi masalah, maksudnya dengan berbagi atau share tentang masalah yang kita hadapi, keluarga yang baik akan mencarikan solusi terbaik untuk seorang anaknya. Ayah dan Ibu adalah seseorang yang terpenting dan tercinta setelah Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup kita, merekalah yang mampu mengerti pribadi kita, dan berasal dari merekalah suatu sikap ataupun karakter masing-masing anak akan terbentuk. terima kasih untuk Ayah juga Ibu yang telah membesarkan kita dan membentuk pribadi yang baik untuk kita.

pemerataan dan kualitas pendidikan di indonesia


PEMERATAAN DAN KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk yang padat. Indonesia adalah negara berkembang yang masih dalam tahap proses pembangunan. Di sektor pendidikan, kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Saat ini yang kita rasakan adalah ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan yang formal maupun pendidikan yang informal. Pendidikan adalah penopang untuk meningkatkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa kita. Seharusnya kita sebagai warga Indonesia dapat meningkatkan sumber daya manusia di Indonesia agar kita tidak kalah bersaing dengan negara-negara lainnya.
                  


               Masalah dalam mutu peningkatan pendidikan adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenang pendidikan baik yang formal maupun yang informal, keterbatasan daya tampung, kerusakan sarana dan prasarana, kurangnya tenaga pengajar, keterbatasan anggaran. Rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang. Keterbatasan daya tampung sangat berpengaruh dalam pemerataan pendidikan di Indonesia. Banyak sekolah di Indonesia yang memiliki daya tampung tidak seimbang dengan jumlah murid yang diterima saat penerimaan murid baru. Hal ini mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi kurang maksimal. Minimalnya sarana yang ada juga cukup berpengaruh. Pemerataan pendidikan terutama di daerah tertinggal, sangat memerlukan adanya peningkatan di bidang sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana ini sangat penting perannya dalam proses belajar mengajar.
                     


                Masalah pendidikan di Indonesia ini sudah teramat kejamnya. Kita semua harus mepedulikan tentang kualitas pendidikan di negara kita ini. 
http://rhyegalz.blogspot.com/2011/10/pemerataan-dan-kualitas-pendidikan-di.html
SUMBER :

Sabtu, 01 Oktober 2011

MASALAH SOSIAL YANG TERJADI DILINGKUNGAN SOSIAL



Masalah sosial adalah suatu hal atau peristiwa yang menimbulkan masalah dan hal tersebut dapat dirasakan oleh semua warga masyarakat lainnya.



Contoh masalah sosial:


Sampah






Salah satu masalah sosial yang dihadapi masyarakat adalah sampah. Masalah sampah sangat mengganggu, terutama kalau tidak dikelolah dengan baik. Bagaimana dengan pengelolaan sampah di lingkunganmu? Bagi masyarakat pedesaan, sampah mungkin belum menjadi masalah
serius. Tapi, tidak demikian dengan masyarakat yang tinggal di kota atau di daerah padat penduduk. Masyarakat kota dan daerah padat penduduk menghasilkan banya sekali sampah. Sampah segera menumpuk jika tidak segera diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Pemerintah, dalam hal ini adalah Dinas Kebersihan, memikul tang-gung jawab dalam mengelola sampah. Sampah yang menumpuk menimbulkan bau tidak sedap. Sampah yang ditumpuk dapat menjadi sumber berbagai penyakit menular. Misalnya, muntah berak (muntaber), penyakit kulit, paru- paru, dan pernapasan. Karena itu, kalau kamu perhatikan, di lingkungan tempat tinggalmu ada selalu ada petugas sampah. Setiap bulan orang tuamu membayar iuran sampah. Pernahkah kamu mengalami keadaan di mana sampah tidak diangkut lebih dari satu minggu? Lingkungan menjadi bau, bukan? Bagaimana Pak RT dan masyarakat di lingkunganmu memecahkan masalah ini? Masalah lain berkaitan dengan sampah adalah kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan. Di banyak tempat banyak warga yang biasa membuang sampah ke sungai dan saluran air. Sungai dan aliran air menjadi mampet. Akibatnya, sering terjadi banjir jika hujan lebat.






Semua warga masyarakat harus ikut serta mengelola sampah. Warga bisa mengurangi masalah sampah dengan tertib mengelola sampah. Kita biasakan untuk memisahkan sampah plastik dari sampah basah. Kemudian kita menaruh sampah di tempat semestinya.



Sumber : www.crayonpedia.org // ( telah diedit dibeberapa bagian )